Menangis Depan Cermin
"Meski Sudah Dicoblos Puluhan Jarum, Hasilnya Tetap Nol Besar"Muka perot sebelah, atau istilah medisnya Hemifacial Spasm (HFS), selama ini kerap ditangani ala kadarnya. Ia dianggap bagian dari stres dan tak bisa disembuhkan. Ternyata bedah mikro bisa menyembuhkannya. Disini, tak perlu ke luar negeri.Lie A Ming, pengusaha perempuan asal "Kota Tahu" Kediri, Jawa Timur, mengenang deritanya pada tahun 1987. Ia tiba-tiba sering kedutan, mata kirinya mengedip-ngedip tanpa disengaja. "Bagi orang yang tidak tahu mungkin dikira saya main mata dengan awan bicara"," ia bercanda. Hatinya baru resah ketika kedipan itu diikut otot pipi terasa kencang karena tertarik ke belakang. Jika stres, tarikan makin kuat. Begitu pun saat lelaj atau kena terpaan angin. Waktu pun terus berjalan. Selain pipi, ujung bibir sisi kirinya pun tertarik. "Kalau bercermin rasanya mau nangis. Wajah saya dulu cantik kok bisa merot tidak karuan," ucap istri dari Mochtar ini. Ibu dua putra yang di kotanya terkenal dermawan itu ke dokter saraf di Surabaya. Ia didiagnosis stres dan stres itu berpengaruh pada saraf-saraf yang mengendalikan bagian wajahnya. Dokter memberi obat, memintanya mengendalikan emosi. Tapi, ketika semua anjuran telah diikuti dan obat sudah habis diminum, A Ming tak kunjung pulih seperti sediakala. "Saya makin stres. Wajah saya makin tidak karuan," ujarnya.Lie A Ming lantas lantas mendatangi semua dokter saraf di Surabaya dan Jakarta. Semua menghasilkan diagnosis sama, yaitu stres. A Ming juga berangkat ke luar negeri. Namun pemeriksaan yang canggih oleh dokter ternama di Negeri Singa pun menghasilkan diagnosis sejenis stres. Ia pun pindah dokter lagi. Ada satu dokter yang memberinya suntikan botox (Botulinum Toxin) di pipi. Saraf di sekitar pipi dimatikan sehingga ototnya tak bisa tertarik ke belakang. Meski agak mati rasa, wajahnya pulih kembali. Tapi setelah 3-4 bulan. saat reaksi obat mulai habis, mukanya perot lagi.Kapok dengan pengobatan medis, A Ming mulai menempuh jalur alternatif. Ia menemukan ahli akupunktur asal Cina yang kebetulan sedang di Surabaya. Meski sudah dicoblos puluhan jarum, hasilnya tetap nol besar. A Ming pun mendatangi praktik ahli pijat di Batu, Malang. Menurut sang terapis, dengan pijatan sekitar 10 kali. A Ming akan sembuh. Tapi, sudah 14 kali pijat, dan selalu menahan sakit setiap kali dipijat, ia belum sembuh juga. "Saya frustasi," ujar A Ming. Ia hanya bisa berdoa dan doa yang dipanjatkannya dikabulkan Tuhan. Ia bertemu Maudy Meliana, teman senasib yang juga asal Kediri. Tak separah dirinya, Meliana "baru" menderita sekitar tujuh tahun. Dari media, Meliana mengetahui ada seorang dokter di sebuah RS di Surabaya yang bisa menyembuhkan penyakitnya. A Ming yang semula menolak dioperasi, terkejut saat melihat wajah Meliana kembali normal setelah operasi.Atas dorongan Meliana, A Ming memutuskan untuk menemui dr. M. Sofyanto, Sp.BS. Dengan dukungan keluarga dan teman-teman, ia pun memberanikan diri menjalani operasi. "Saya tidak ingat tiba-tiba operasi sudah selesai dan saya sudah berada di dalam ruangan," ucapnya. Setelah sadar dari operasi, ia merasakan pipi, bibir, dan lehernya tidak lagi kaku akibat tarikan otot. Matanya juga tidak berkedip-kedip lagi. Beberapa jam berikutnya, dia diperbolehkan berdiri dan berjalan menuju cermin. "Saya nyaris tidak percaya. Wajah saya kembali normal. Tanpa terasa saya menangis di depan cermin," kenangnya.
"Meski Sudah Dicoblos Puluhan Jarum, Hasilnya Tetap Nol Besar"
Muka perot sebelah, atau istilah medisnya Hemifacial Spasm (HFS), selama ini kerap ditangani ala kadarnya. Ia dianggap bagian dari stres dan tak bisa disembuhkan. Ternyata bedah mikro bisa menyembuhkannya. Disini, tak perlu ke luar negeri.
Lie A Ming, pengusaha perempuan asal "Kota Tahu" Kediri, Jawa Timur, mengenang deritanya pada tahun 1987. Ia tiba-tiba sering kedutan, mata kirinya mengedip-ngedip tanpa disengaja. "Bagi orang yang tidak tahu mungkin dikira saya main mata dengan awan bicara"," ia bercanda. Hatinya baru resah ketika kedipan itu diikut otot pipi terasa kencang karena tertarik ke belakang. Jika stres, tarikan makin kuat. Begitu pun saat lelaj atau kena terpaan angin. Waktu pun terus berjalan. Selain pipi, ujung bibir sisi kirinya pun tertarik. "Kalau bercermin rasanya mau nangis. Wajah saya dulu cantik kok bisa merot tidak karuan," ucap istri dari Mochtar ini.
Ibu dua putra yang di kotanya terkenal dermawan itu ke dokter saraf di Surabaya. Ia didiagnosis stres dan stres itu berpengaruh pada saraf-saraf yang mengendalikan bagian wajahnya. Dokter memberi obat, memintanya mengendalikan emosi. Tapi, ketika semua anjuran telah diikuti dan obat sudah habis diminum, A Ming tak kunjung pulih seperti sediakala. "Saya makin stres. Wajah saya makin tidak karuan," ujarnya.
Lie A Ming lantas lantas mendatangi semua dokter saraf di Surabaya dan Jakarta. Semua menghasilkan diagnosis sama, yaitu stres. A Ming juga berangkat ke luar negeri. Namun pemeriksaan yang canggih oleh dokter ternama di Negeri Singa pun menghasilkan diagnosis sejenis stres. Ia pun pindah dokter lagi. Ada satu dokter yang memberinya suntikan botox (Botulinum Toxin) di pipi. Saraf di sekitar pipi dimatikan sehingga ototnya tak bisa tertarik ke belakang. Meski agak mati rasa, wajahnya pulih kembali. Tapi setelah 3-4 bulan. saat reaksi obat mulai habis, mukanya perot lagi.
Kapok dengan pengobatan medis, A Ming mulai menempuh jalur alternatif. Ia menemukan ahli akupunktur asal Cina yang kebetulan sedang di Surabaya. Meski sudah dicoblos puluhan jarum, hasilnya tetap nol besar. A Ming pun mendatangi praktik ahli pijat di Batu, Malang. Menurut sang terapis, dengan pijatan sekitar 10 kali. A Ming akan sembuh. Tapi, sudah 14 kali pijat, dan selalu menahan sakit setiap kali dipijat, ia belum sembuh juga.
"Saya frustasi," ujar A Ming. Ia hanya bisa berdoa dan doa yang dipanjatkannya dikabulkan Tuhan. Ia bertemu Maudy Meliana, teman senasib yang juga asal Kediri. Tak separah dirinya, Meliana "baru" menderita sekitar tujuh tahun. Dari media, Meliana mengetahui ada seorang dokter di sebuah RS di Surabaya yang bisa menyembuhkan penyakitnya. A Ming yang semula menolak dioperasi, terkejut saat melihat wajah Meliana kembali normal setelah operasi.
Atas dorongan Meliana, A Ming memutuskan untuk menemui dr. M. Sofyanto, Sp.BS. Dengan dukungan keluarga dan teman-teman, ia pun memberanikan diri menjalani operasi. "Saya tidak ingat tiba-tiba operasi sudah selesai dan saya sudah berada di dalam ruangan," ucapnya. Setelah sadar dari operasi, ia merasakan pipi, bibir, dan lehernya tidak lagi kaku akibat tarikan otot. Matanya juga tidak berkedip-kedip lagi. Beberapa jam berikutnya, dia diperbolehkan berdiri dan berjalan menuju cermin. "Saya nyaris tidak percaya. Wajah saya kembali normal. Tanpa terasa saya menangis di depan cermin," kenangnya.